Sejak diundangkannya pada tahun 1981, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi pedoman utama dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, berbagai tantangan dan penyimpangan dalam praktik peradilan pidana menuntut adanya revisi terhadap KUHAP.
Perubahan ini menjadi krusial, terutama dalam rangka implementasi KUHP baru yang akan diberlakukan pada tahun 2026.
Urgensi Revisi KUHAP
Revisi KUHAP bukan sekadar upaya pembaruan regulasi, tetapi juga bentuk perbaikan terhadap berbagai penyimpangan dalam sistem peradilan pidana.
Penyimpangan ini sering terjadi pada tahap penyelidikan dan penyidikan, di mana aparat penegak hukum kerap menggunakan kewenangannya secara tidak proporsional.
Beberapa masalah utama yang sering muncul meliputi:
- Pemanggilan saksi atau tersangka secara sewenang-wenang tanpa dasar hukum yang jelas.
- Penetapan tersangka tanpa adanya bukti permulaan yang cukup.
- Praktik rekayasa kasus yang melibatkan aparat penegak hukum demi kepentingan tertentu.
Kasus-kasus besar, seperti perkara Sambo serta sengketa hukum yang melibatkan pengusaha dan Mayapada, menjadi bukti nyata bagaimana hukum dapat disalahgunakan sebagai alat kepentingan tertentu.
Hal ini semakin menegaskan pentingnya revisi KUHAP untuk menjamin bahwa hukum ditegakkan secara adil dan tidak berpihak.
Mekanisme Hakim Komisaris: Solusi untuk Mengawasi Penyalahgunaan Wewenang
Salah satu solusi utama yang diusulkan dalam revisi KUHAP adalah penguatan peran Hakim Komisaris.
Hakim Komisaris berfungsi sebagai pengawas independen yang bertugas mengontrol setiap tindakan aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dan penyelidikan.
Beberapa kewenangan yang dapat diberikan kepada Hakim Komisaris antara lain:
- Meninjau pemanggilan dan pemeriksaan saksi atau tersangka.
- Mengawasi proses penetapan status tersangka agar tidak dilakukan secara sembarangan.
- Mengawal prosedur penyitaan dan penggeledahan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
- Memastikan keputusan penahanan dilakukan sesuai dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
Sayangnya, usulan ini kerap mendapatkan penolakan, terutama dari institusi kepolisian yang khawatir bahwa pengawasan ketat akan membatasi ruang gerak mereka.
Namun, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah: bagaimana cara memastikan bahwa kewenangan luar biasa yang dimiliki aparat penegak hukum tidak disalahgunakan?
Melibatkan Institusi Terkait dalam Pembahasan Revisi
Dalam rangka merumuskan revisi KUHAP yang komprehensif dan berimbang, diperlukan keterlibatan berbagai pihak, termasuk:
- Korps Kejaksaan, sebagai penuntut umum yang memiliki peran sentral dalam proses peradilan pidana.
- Kepolisian, yang bertanggung jawab atas penyelidikan dan penyidikan.
- Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), yang memiliki perspektif yudisial dalam menjamin prinsip keadilan.
Melalui diskusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, revisi KUHAP dapat menghasilkan regulasi yang lebih transparan, akuntabel, dan selaras dengan prinsip hak asasi manusia.
Revisi KUHAP bukan sekadar kebutuhan hukum, tetapi juga langkah strategis dalam memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dengan adanya mekanisme pengawasan yang lebih ketat, seperti peran Hakim Komisaris, diharapkan proses penyelidikan dan penyidikan dapat berlangsung secara lebih transparan dan bebas dari penyalahgunaan wewenang.
Demi mewujudkan sistem hukum yang adil dan berintegritas, seluruh elemen penegak hukum harus berkomitmen untuk mendukung perubahan ini.
Saatnya Indonesia memiliki sistem hukum acara pidana yang tidak hanya kuat secara regulasi, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip keadilan bagi seluruh warga negara.***
( sumber : flores.pikiran-rakyat.com )