Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi menegaskan hal yang tidak mudah untuk merubah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi lembaga ad hoc, dan tidak lagi menjadi lembaga permanen. Pasalnya, hal itu harus mengamandemen konstitusi UUD 1945.
“Pembentukan KPU adalah amanat konstitusi UUD 1945, kemudian MK (Mahkamah Konstitusi) juga memutuskan bahwa Bawaslu adalah bagian dari KPU. Oleh karena itu, untuk dijadikan ad hoc itu harus merubah UUD,” kata Dede saat dihubungi Indopos.co.id, Selasa (26/11/2024).
Dari amanat konstitusi tersebut, kata Dede, KPU adalah satu dari beberapa lembaga di Indonesia yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
“Jadi sangat jelas bahwa dalam konstitusi KPU bukanlah lembaga ad hoc,” tegasnya.
Dibanding merubah status KPU dan Bawaslu menjadi lembaga Ad Hoc, Politisi Partai Demokrat ini malah menyebutkan bahwa dirinya lebih setuju jika pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih calon presiden-wakil presiden dan calon legislatif DPR, DPRD dan DPD RI dipisahkan tahun pelaksanaannya dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Sebagaimana yang terjadi di tahun 2024 ini, ucap Dede, pelaksanaan Pemilu dan Pilkada telah menimbulkan berbagai konflik dan kecurangan pemilu.
“Nah kalo opsi pelaksanaan pemilu dan pilkada dibedakan tahunnya kami lebih setuju. Karena kalau serentak tahun yang sama, maka ada efdort atau upaya yang dilakukan KPU dan Bawaslu sangat besar dan sangat melelahkan,” ucapnya.
“Serta akibatnya yang terjadi adalah begitu banyak PJ (penjabat) dan begitu banyak konflik yang terjadi antar ASN (aparatur sipil negara) hingga perangkat desa, serta money politik banyak sekali,” sambungnya.
Untuk itu, lanjut Dede, dengan adanya pemisahan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada dibedakan tahunnya, maka KPU dan Bawaslu akan terus bekerja di tiap tahunnya karena persiapannya bisa dilakukan secara berjenjang.