Pemerintah memutuskan tak merevisi UU Pilkada. Konsekuensinya, Pilkada akan digelar serentak pada November 2024 dan tidak ada Pilkada di 2022 dan 2023.
Karena tidak ada Pilkada di 2022-2023, akan ada kekosongan 271 kepala daerah definitif. Maka dari itu, dibutuhkan Penjabat (Pj) kepala daerah hingga kepala daerah baru terpilih dari hasil Pilkada 2024.
Berkaca pada Pilkada sebelumnya, Pj bisa diisi oleh TNI-Polri aktif yang diminta Kemendagri. Namun, tak sedikit yang menyampaikan penolakan atas wacana tersebut.
Anggota Komisi Pemerintahan (II) DPR, Anwar Hafid, menilai aturan di UU sudah sangat jelas. Pertama UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yaitu di Pasal 201, lalu di Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 74 tahun 2016.
Kedua aturan ini memuat Penjabat diisi oleh aparatur sipil negara (ASN) yang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, baik di level pemerintah pusat maupun provinsi.
"Penunjukan Pj kepala daerah sudah ada mekanismenya dan sangat jelas diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku, sehingga penunjukan Pj kepala daerah sebaiknya berasal dari pejabat sipil yang memenuhi syarat," kata Anwar saat dimintai tanggapan, Selasa (12/10)
Dijelaskan Anwar, jika Pj dari lingkungan Kemendagri terbatas, maka pemerintah bisa mengambil dari Kementerian PANRB yang juga paham soal pemerintahan daerah.
"Kalau pun pejabat di lingkungan Depdagri juga terbatas sebaiknya bisa diambil dari kementerian lain seperti KemenPANRB," beber Politikus Demokrat ini.
Lebih lanjut, Anwar yang juga Mantan Bupati Morowali ini berpandangan, sebaiknya Pj adalah Sekretaris Daerah (Sekda). Sebab, sangat memahami jalannya pemerintahan di daerah.
"Sebaiknya dipikirkan untuk menjadikan sekda sebagai Pj kepala daerah karena mereka sangat paham keadaan daerah," pungkas legislator dapil Sulteng ini.
( sumber : kumparan.com )