Anggota Komisi Keuangan (Komisi XI) DPR RI, Marwan Cik Asan, menilai pengelolaan fiskal pemerintah semakin menghawatirkan. Menurutnya, beberapa indikator menunjukan pengelolaan fiskal pemerintah semakin tidak sehat dan akan menuju pada ketidakberlanjutan fiskal.
Beberapa indikator yang dimaksud adalah rasio penerimaan pemerintah terhadap PDB yang menurun tajam. Rasio penerimaan pemerintah terhadap PDB turun tajam menjadi hanya 10,6 persen pada tahun 2020. Padahal, pada tahun 2008 mencapai 19,8 persen, yang merupakan rasio tertinggi sejak tahun 2000.
"Rasio ini terus menurun menjadi 15,4 persen pada tahun 2014, menurun lagi menjadi 12,4 persen pada tahun tahun 2019. Rasio yang rendah tersebut menunjukkan bahwa kondisi fiskal dan keuangan pemerintah sulit untuk dipertahankan," kata Marwan dalam keterangannya, Kamis (11/2/2021).
Indikator lain, lanjut Marwan, adalah rasio beban bunga yang semakin meningkat. Rasio beban bunga terhadap PDB tahun 2020 mencapai 2 persen atau setara dengan 19,2 persen dari total pendapatan pemerintah pada tahun 2020.
Dengan rasio penerimaan pemerintah tahun 2020 sebesar 10,6 persen dikurangi rasio beban bunga 2 persen, maka sisa rasio pendapatan hanya mencapai 8,6 persen untuk belanja pemerintah. Namun faktanya rasio belanja pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah mencapai rata-rata 18,8 persen pada 2005-2009, 17,5 persen pada 2010-2014, 15 persen pada 2015-2019, dan 16,9 persen pada 2020 karena pandemi dan resesi belanja fiskal.
Artinya, tutur Marwan, untuk menutupi turunnya penerimaan pemerintah dalam pembiayaan belanja dipastikan pemerintah akan terus menambah jumlah utang dalam jumlah besar, diperkirakan rasio utang meningkat menjadi 55 persen pada tahun 2022, mendekati pagu yang sah sebesar 60 persen, yang kemungkinan akan terlampaui pada 2023.
Indikator yang lain menurut Marwan adalah defisit keseimbangan primer yang terus meningkat. "Seperti yang pernah saya sampaikan bahwa Defisit keseimbangan primer tahun 2020 mencapai Rp642,2 triliun atau sekitar 3,9 persen dari PDB dan diperkirakan akan tetap besar pada tahun 2021 dan 2022," katanya.
Dengan kondisi tersebut, kata Marwan, dipastikan untuk pembayaran bunga utang pemerintah harus melakukan penarikan utang baru yang berakibat penggunaan utang semakin tidak produktif.
Menurut Marwan, beberapa indikator diatas menunjukkan bahwa kondisi fiskal pemerintah semakin menghawatikan dan mengarah tidak berlanjutnya pengelolaan fiskal pemerintah sehingga membutuhkan perubahan yang drastis.
“Pemerintah harus segera putar haluan, mereformasi fundamental kebijakan fiskalnya untuk menyelamatkan perekonomian tanpa menimbulkan guncangan besar,” kata Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR RI ini.
Lebih jauh legislator dari daerah pemilihan Lampung II ini menjelaskan, untuk mengatasi masalah fiskal tersebut pemerintah tidak punya pilihan lain selain meningkatkan penerimaannya. Jika pemerintah mengurangi pengeluarannya, maka defisit anggaran tidak akan menyelesaikan masalah ekonomi saat ini.
"Sebaliknya, hal itu akan menimbulkan guncangan besar bagi perekonomian,” ujar dia.
Kekhawatiran lain adalah pemerintah sangat agresif dalam memberikan insentif fiskal dan stimulus dengan mengurangi pajak guna menarik investasi. Termasuk pemberian fasilitas pajak dalam pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
“Kebijakan-kebijakan tersebut tentunya akan menurunkan penerimaan pajak pemerintah dan memperburuk perekonomian, khususnya jika insentif fiskal tersebut gagal meningkatkan investasi secara signifikan seperti yang terjadi sejak tahun 2015,” pungkasnya.
(
\ )