Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto, mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengabulkan uji materi tentang perubahan atau perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun.
Menurut Didik, objek putusan tersebut seharusnya terbuka atau open legal policy. Pembentuk Undang-Undang lah yang diberikan hak dan kebebaskan untuk merumuskan politik hukum dan menentukan norma hukumnya.
Demikian disampaikan Didik Mukrianto saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (26/5/2023).
"Secara garis besar, suatu kebijakan pembentukan hukum, dapat dikatakan bersifat open legal policy, manakala UUD 1945 atau konstitusi sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang," kata Didik.
Didik mengatakan, jika alasan putusan atau ratio decidenci putusan MK salah satunya menitikberatkan kepada keadilan, maka MK juga harus konsisten dalam putusan lainnya.
Dia mencontohkan perihal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Secara logika, lanjut Didik, dengan penekanan keadilan, gugatan presidential threshold harus dikabulkan.
"Termasuk jika pembatasan usia dalam berbagai jabatan yang diatur di berbagai UU seperti batas usia caleg, presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, hakim, hakim agung, hakim MK dan jabatan lainnya diajukan gugatan ke MK, jangan sampai MK memberikan perlakuan yang berbeda," ucap legislator Partai Demokrat itu.
Jika melihat kewenangan besar yang dimiliki oleh MK, menurut Didik seharusnya MK tidak boleh bertindak sebagai Tirani Justitia yang bisa merugikan kepentingan dan konstitusional yang lebih besar.
MK harus menjadi Constitutional Court, dan bukan Interest Court atau bahkan Political Court.
"Jika MK menggunakan kekuasaan dengan semena-mena dan subjetif, tidak perlu lagi diberikan hak kepada pembentuk UU untuk diberikan hak membuat kebijakan hukum terbuka," tandasnya.
Putusan MK
Periode kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menjadi lima tahun. Putusan ini dibacakan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang dengan nomor perkara 112/PUU-XX/2022 pada Kamis (25/5/2023).
Diubahnya periode kepemimpinan KPK dari empat menjadi lima tahun guna menguatkan kedudukan pimpinan KPK.
"Oleh karena itu, guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 dan menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara constitutional importance yang bersifat independen yaitu selama 5 tahun," kata hakim MK Arief Hidayat dalam sidang.
Sebelumnya, MK menerima gugatan uji materi tentang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) yang diajukan oleh pemohon Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Gugatan Nurul Ghufron terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterima MK. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materiil masa jabatan pimpinan KPK tersebut dengan tiga alasan utama.
Sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema empat tahunan berdasar Pasal 34 UU 30/2002 telah menyebabkan dinilainya kinerja pimpinan KPK yang merupakan manifestasi dari kinerja lembaga KPK sebanyak dua kali oleh presiden maupun DPR terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK.
"Karena dengan kewenangan DPR maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya, berpotensi tidak hanya mempengaruhi independensi pimpinan KPK tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri," ucap Arief Hidayat.
Dalam amar putusannya, Anwar Usman menyatakan sejumlah dalil utama terkait putusan persidangan.
"Mengadili pertama mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," tegas Anwar Usman. Kedua disebut Anwar Usman menyatakan Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi, "Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan".
Selain itu dalam putusannya, Anwar menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) yang semula berbunyi, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan".
( sumber : m.tribunnews.com )