Komisi X DPR RI mengkritik keras kebijakan pemecatan 107 guru honorer di DKI Jakarta secara sepihak melalui sistem "cleansing" atau "pembersihan". Kebijakan ini dinilai kurang humanis.
"Cleansing itu kata yang terlalu sadis, cleansing itu kan pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh," ujar Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, kepada wartawan, Jumat (19/7/2024).
Dinas Pendidikan (Disdik) DKI menyatakan kebijakan cleansing terhadap setidaknya 107 guru honorer dilakukan sebagai Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK. Temuan BPK menyebut bahwa peta kebutuhan guru honorer tidak sesuai dengan Permendikbud serta ketentuan sebagai penerima honor.
Para guru honorer ini digaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Disdik DKI juga beralasan bahwa pihak sekolah mengangkat guru honorer tanpa rekomendasi dari Disdik, sehingga melanggar aturan.
Merespons hal tersebut, Dede Yusuf meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk menjadi fasilitator dalam menyelesaikan masalah ini.
“Kemendikbudristek harus segera mengklarifikasi dengan Dinas Pendidikan Jakarta. Dari informasi yang saya terima, ini adalah Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK,” tuturnya.
Dede juga menyoroti perbedaan aturan dari Disdik Jakarta yang mengharuskan guru untuk mengajar sebanyak 35 jam per minggu, sementara Kemendikbudristek hanya mengharuskan guru honorer mengajar 24 jam per minggu. Hal ini yang kemudian menjadi temuan BPK.
"BPK melihat pembayaran guru-guru yang mengajar kurang dari 35 jam per minggu. Temuan ini bisa diselesaikan dengan mengatur pola jam mengajar," jelas Dede.
Karena itu, Dede meminta agar pihak-pihak terkait segera duduk bersama untuk mencari solusi bagi nasib guru honorer yang dipecat, termasuk Pemda dan BPK. Dede mengingatkan bahwa meskipun mereka berstatus honorer, para guru ini telah mengabdi bagi pendidikan anak selama bertahun-tahun.
“Kebijakan cleansing guru honorer bisa menyebabkan kekurangan guru di sekolah yang pada akhirnya mengganggu proses belajar mengajar. Pada akhirnya anak-anak yang akan dirugikan. Apalagi ini baru memasuki tahun ajaran baru sekolah,” tuturnya.
“Seharusnya Disdik juga bisa mencari tahu kenapa sekolah-sekolah mengangkat para guru honorer ini. Mungkin karena beban sekolah yang sudah terlalu besar sehingga membutuhkan tambahan guru yang belum bisa diakomodir oleh Pemerintah,” sambung Dede.
Lebih lanjut, Dede mengingatkan bahwa pemberdayaan profesi guru harus diselenggarakan melalui pengembangan diri yang berkeadilan dan berkelanjutan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) sesuai amanat Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
“Jadi penting sekali memperhatikan nilai-nilai tersebut saat pengangkatan maupun pemutusan kerja sama, termasuk dengan guru honorer,” ungkap mantan Wagub Jawa Barat tersebut.
Menurutnya, pemecatan guru honorer dengan istilah cleansing itu juga tidak sesuai dengan semangat yang tengah dilakukan negara terkait perbaikan nasib guru honorer. Dede mengingatkan, UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN telah menegaskan komitmen Pemerintah untuk menyelesaikan penataan tenaga non-ASN paling lambat Desember 2024.
“Artinya seharusnya nasib tenaga honorer, termasuk guru honorer, bisa membaik. Bukan justru mengalami kemunduran,” tukasnya.
Pemerintah telah berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan tenaga honorer dengan beberapa kebijakan. Seperti pengangkatan honorer menjadi PNS atau PPPK melalui berbagai syarat dan ketentuan, dengan salah satu targetnya adalah pengangkatan sebanyak 1 juta guru honorer menjadi ASN PPPK pada tahun 2024.
“Kita berbicara tentang nasib lebih dari 100 guru yang sudah berjasa terhadap pendidikan anak-anak kita. Semestinya Pemda lebih bijaksana, tidak asal main cut seperti itu,” pungkas Dede.
( sumber : beritasatu.com )