Inovasi jasa keuangan yang dikenal dengan financial technology (fintech), belakangan menjamur di Tanah Air. Perkembangan ini perlu dikawal, terutama terkait dampak dari beragam model transaksi yang baru bagi masyarakat. Karena itulah dibutuhkan payung hukum yang jelas dan tegas terkait masalah ini.
Demikian antara lain ditegaskan anggota Fraksi Partai Demokrat (FPD), Vera Vebriyanthy dalam diskisi RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2KS) dengan Felix Sharief (DANA Indonesia), Mercy Simorangkir (Executive Director AFTECH), Trissia Wijaya (Center for Indonesian Policy Studies), dan Agung dari Edelman Global Advisory (EGA). Diskusi terbatas ini berlangsung di kantor FDP, Gedung Nusantara 1, Senayan, Jakarta (25-08-2022).
Selain Vera, dari FPD hadir pula anggota Komisi XI Didi Irawadi, Harmusa, Siti Mufattahah, dan anggota Komisi VII Sartono Hutomo.
‘’Banyak kasus muncul karena perkembangan atau inovasi jasa keuangan. Karena itu memang kita butuh payung hukum yang jelas dan tegas. Di sinilah letaknya urgensi rancangan undang-undang PPKS,’’ kata Vera ketika membuka forum diskusi.
Vera memberi contoh, masalah yang muncul itu antara lain kasus-kasus pinjaman online ilegal dan koperasi yang hit and run.
‘’Belum ada lembaga pengatur pengawasan koperasi, forex dan binary option juga dalam praktiknya merugikan masyarakat. Masalah-masalah ini, berpotensi terus bertambah, sementara aturan hukumnya belum memadai,’’ tambah anggota Komisi XI DPR RI itu.
RUU PPKS, kata Vera, merupakan inisiatif dari DPR. Sejak 2021 sudah dilakukan RDPU dengan para asosiasi dan stakeholders terkait untuk membicarakan masalah ini.
‘’Draft RUU sudah rampung, kami sekarang berupaya menyerap aspirasi dan pandangan dari para pakar industri sektor keuangan supaya bisa menjadi masukan saat pembahasan RUU nantinya,’’ kata Vera lagi.
Mercy Simorangkir dari Asosiasi Fintech Indonesia menyatakan bahwa pinjaman online (pinjol) saat ini memang sangat banyak saat ini. ‘’OJK memiliki izin perhari ini ada 102. Itu yang membuat kami excited dan berterimakasih atas inisiatif DPR merancang undang-undang terkait fintech,’’ katanya.
‘’Kami juga pernah sampaikan bahwa industri ini multistakeholders, maka perlu ada koordinasi antara regulator yang kuat, yang timbul dari penyelenggara fintech ilegal,’’ tambahnya.
Sementara Trissia Wijaya (Center for Indonesian Policy Studies) menyampaikan tiga isu penting terkait hal ini, yakni kerangka dan mekanisme regulasi; isu teknis, pengawasan dan sanksi; dan ketiga, jaminan hak konsumen serta data sovereignty.
‘’Saat ini, kerangka kerja masih prematur dan kaku, kurang fleksibel, ini menghasilkan parameter yang kaku seperti aspek lisensi, peraturan kredit, sehingga alangkah baiknya perkembangan RUU ini diterapkan risk based approach. Kalau terlalu kaku akan berdampak pada compliance cost yang berdampak pada ekonomi itu sendiri,’’ kata Trissia.
Ia juga berharap RUU PPSK memberikan kepastian hukum dalam sistem pembayaran antara bank konvensional dengan fintech.
Terakhir, Vera Vebriyanthy menggarisbawahi bahwa dengan banyaknya kasus seputar fintech, diharapkan RUU PPKS dapat mengakomodir perbaikan pada sektor keuangan sehingga ke depan tidak ada lagi kerugian baik dari masyarakat maupun pengusaha.
‘’Tentu, masukan-masukan dari para stakeholder akan kami gunakan untuk menyempurnakan RUU ini,’’ pungkasnya. (winda/FPD)
( sumber : fraksidemokrat.org )